Bagi yang
lahir pada tahun 80'an, termasuk saya, pasti tidak tahu siapa Muhammad Ali dan
tidak pernah melihat pertandingan maupun gaya bertinjunya secara live di TV
pada masa itu. Sampai saya membaca berita bahwa Muhammad Ali beristirahat
selamanya dan mengenai dirinya semasa dia hidup, saya tahu bahwa orang ini
memang hebat. Orang ini memang pantas disebut...legenda.
Ali
mulai memukau dunia tinju ketika merebut gelar juara dunia kelas berat dari
tangan Sony Liston. Ketika itu Ali ditempatkan sebagai underdog. Dunia
terkejut dengan gaya bertinju Ali yang dapat meredam dan mementahkan hampir
semua serangan Liston dalam duel pada Februari 1964 waktu itu.
Ali
melompat-lompat ringan, seperti kupu-kupu, menjauhi Liston yang mengejar dan
hendak memukulnya. Seberapa jarak menekan Liston, sebegitu jauh Ali mundur
menghindar dengan enteng. "Catch me if you can..", katanya kepada
Liston ketika itu.
Pukulan
keras Liston meleset, tak kena sasaran. Sebaliknya, Ali melepaskan pukulan
balasan yang menyengat. Pukulan Ali sesekali mengenai bagian mata Liston dan
membuat pelupuk matanya bengkak. Sesekali pula pukulan balasan tersebut
menyengat bahu kiri Liston. Efeknya, tangan kiri Liston tak dapat
berfungsi baik. Liston akhirnya menyerah pada awal ronde ke-7 karena tak dapat
lagi mengangkat tangan kiri. Ali menjadi juara dunia untuk kali pertama.
Petarung
yang lahir dengan nama Cassius Marcellus Clay Jr pada 17 Januari 1942 itu
kembali sukses mempecundangi Liston dalam duel kedua sekitar setahun kemudian.
Ali meng-KO Liston dironde pertama dengan pukulan uppercut kanan yang amat
cepat. Ali dengan psywar-nya yang kental membuyarkan konsentrasi Liston dan
membuatnya marah. Perang mental itu dilakukan Ali, sebelum ataupun ketika
sedang bertanding.
Prinsip
utama dalam bertinju adalah pandai memukul dan menghindar. Sebab, sehebat
apapun kekuatan pukul, selalu ada batasnya. Dengan pandai menghindari pukulan,
lawan jadi frustrasi dan kehilangan tenaga. Contoh yang paling nyata, Mike
Tyson. Tyson hanya pandai memukul, tapi tak pintar menghindar. Akibatnya, dia
biasanya kedodoran menjelang paro kedua pertandingan.
Namun tidak demikian
dengan Ali. Sadar tenaganya berkurang, dia melayang dan membuat gangguan kecil
terhadap lawan dengan perhitungan bahwa ronde tersebut berlangsung seimbang.
Pandai memukul dan pandai menghindar dapat dilakukan Ali dengan amat baik dan
itu adalah modal dalam bertarung. Tapi, Ali juga masih punya teknik lain dalam
bertanding tinju yang tak pernah dilakukan petinju manapun selama ini. Teknik
tersebut diperagakannya ketika berduel dengan Geoge Foreman di Kinshasa, Zaire
(sekarang Republik Demokratik Kongo), pada 1974. Ali yang kembali dalam posisi
underdog bertahan di tali ring dalam posisi menunduk. Dia membangun pertahanan
double cover yang ketat agar rusuknya aman dari serangan keras hook kiri dan
kanan Foreman.
Posisi
menunduk membuat otot-otot perut menjadi lebih kuat terhadap pukulan. Sambil
bertahan di tali ring, Ali masih dapat mengoceh. Foreman pun marah sambil
menghajar keras tembok pertahanan Ali yang terjal di duel bertajuk “The Rumble
in the Jungle” tersebut.
Sukses.
Foreman pun kehabisan tenaga. Sebuah pukulan uppercut kanan Ali menjelang akhir
ronde ke-8 menghajar dagunya dan Foreman pun jatuh. Hebatnya lagi, Ali membuat
skenario jatuhnya foreman dengan posisi terduduk saat meng-KO nya.
Ali membayar
lunas kekalahannya atas Joe Frazier pada 1975, empat tahun setelahnya. Bertarung
habis-habisan selama 14 ronde, Frazier akhirnya kelelahan luar biasa. Duel di
Manila itu berlangsung ketat. Ali tak banyak menari, sedangkan Frazier terus
menekan keras. Dalam pertarungan itu, Ali membuktikan diri dapat bertarung
jarak dekat sesuai kemauan lawan.
Tak ada
gading yang tak retak. Ali yang telah didiagnosis mendapat kelainan pada
otaknya masih mau disuruh promotor Don King bertanding dengan Larry Holmes 2
Oktober 1980 di Las Vegas. Usianya sudah 38 tahun ketika itu, telah pensiun
pula. Sebaliknya, sang lawan yang tujuh tahun lebih muda tengah berada dalam
puncak penampilan sebagai juara dunia. Ali dihajar dan menerima belasan pukulan
keras di kepala. Ali sudah tidak mampu bertinju dengan pukulannya yang
menyengat dan menari seperti kupu-kupu itu. Tiada lagi taktik jitu untuk
mengguncang emosi lawan. Pukulannya pun tak bisa menjangkau lawan yang lebih
muda dan kuat. Wasit menghentikan pertandingan setelah pelatihnya melemparkan
handuk ke dalam ring. Pada tahun itu juga Ali dipastikan mengidap penyakit
sindrom Parkinson.
Dengan semua
sepak terjangnya, Ali banyak mejadi teladan bagi dunia lain selain dunia
olahraga. Semangat bertarung, taktik duel yang dinamis dan bervariasi, membuat
dia selalu dinantikan karena gaya bertarungnya menyenangkan untuk ditonton.
Kepiawaian
Ali dalam bertanding dengan segala dimensi itu, melebihi semua petinju pada
masa lalu hingga di era sekarang. Tak ada satu pun petinju yang menjadi
duplikasi Ali. Tak ada satupun yang mampu atau bisa mendekatinya sekalipun. Selamat jalan Ali, Selamat
beristirahat, legenda.
Sumber : Jawa Pos oleh Syamsul Anwar